*Radio di Tengah Gempuran Media Daring
Oleh: Muhammad Hasrul Hasan
Komisioner KPID Sulawesi Selatan 2017-2020
SUARA riuh pengunjung kedai kopi Phoenam di bilangan Jalan Boulevard, Kota Makassar, tak membenamkan suara khas Masno, pendiri Radio Gamasi Makassar. Jebolan penyiar radio Gandaria yang eksis tahun 60-an ini bernama lengkap Abdul Hamid. Ia lahir di Makassar 71 tahun silam.
Ia terlihat bersemangat menceritakan pengalamannya selama menjadi penyiar hingga mendirikan Radio Gamasi. Masno saat itu sedang menjamu Thomas, Onny dan Deni, rekan seprofesinyanya dari Jawa Tengah dengan kopi khas Makassar di meja bundar Kedai Phoenam sambil berbagi pengalaman selama mereka menekuni bisnis industri radio.
Gamasi sebagai radio lokal Makassarvmenyajikan program lagu-lagu daerah Bugis, Makassar, dangdut dan melayu. Gamasi mengudara sejak 28 Juni 1980, sampai sekarang di Kota Makassar dan sekitarnya.
Radio Gamasi yang dirintis Masno dengan modal menjual motor vespa butut miliknya dan perhiasan emas ibunya sekitar 40 gram. Selain itu ia pun mendapat sumbangan dari sahabat dan fansnya saat menyiar di Radio Gandaria, termasuk maestro lagu daerah almarhum Iwan Tompo.
Masno yang saat ini lebih akrab dipanggilhaji Hamidmerintis usahanya dengan membeli peralatan tower dan pemancar radio yang tidak memenuhi standar.
Ikhtiar Masno mendirikan radio masih terkendala karena belum memiliki studio ia pun akhirnya menyewa dapur milik orang tua Hasnah di jalan Gunung Nona dengan barter sebuah televisi pemberian kerabatnya. Waktu berjalan, Masno pun akhirnya menikahi Hasna. Masno merasa menjadi orang paling beruntung kala itu, radionya belum siaran tapi para pengiklan sudah antri untuk memasang iklan di radionya.
Haji Hamid saat ini masih menjabat sebagai ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia Sulawesi Selatan, atau disingkat PRSSNI, organisasi radio siaran swasta yang eksis dan berizin yang terbesar di Indonesia. Masno saat iu sedang menjamu tamunya dari pengurus daerah PRSSNI Jawa Tengah, mereka berbagi kisah tentang masa masa kejayaan radio di era 80 hingga awal tahun 2000.
Menurut Masno, masa kejayaan radio di Indonesia adalah pada era ’80 hingga ’90an. Pada zaman itu pesawat televisi belum menyebar luas di negeri ini. Belum lagi, harga televisi yang mahal kala itu membuat televisi menjadi barang mewah. Jika menilik di kampung-kampung, pemilik televisi adalah orang-orang kaya saja.
Untuk alternatif hiburan, radio menjadi media yang tepat bagi masyarakat kita. Di tahun-tahun itu kejayaan atau era keemasan radio terjadi. Sebelum digeser oleh televisi dan sekarang internet.
Setelah era orde baru, kran media terbuka lebar. Penyiaran radio tumbuh dan berkembang dengan cara masing-masing, pun bangkrut dengan cara masing-masing pula. Pertumbuhan media itu dinetralisir dengan seleksi pasar . Hanya radio tertentu, yang memiliki konsep yang jelas, dan modal kuat yang mampu bertahan.
Awal tahun 2000 kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mengalami perubahan drastis dalam perilaku masyarakat memperoleh hiburan dan informasi. Media sosial dan media daring yang menjamur membuat tanda tanya apakah media radio masih relevan saat ini. Lebih jauh apakah radio siaran masih mampu bertahan dan bisa bersaing dengan media media dalam jaringan.
Industri radio merupakan bisnis media yang murah, namun memiliki mobilitas yang tinggi, dan memiliki kedekatan langsung dengan para pendengarnya. Inilah yang setidaknya menjadi kekuatan tersendiri bagi radio dibanding media lain.
Sebab itu pekerja radio harus memiliki kreativitas yang tinggi, mampu memanfaatkan dan mengonversikan diri dengan teknologi media yang terus berkembang. Salah satunya radio harus punya website radio streaming di internet ataupun melakukan konvergensi dengan media-media yang ada.
Kendati saat ini indistri radio mengalami pasang surut atau bahkan sampai tutup, keberadaan radio masih tetap dibutuhkan selama mampu memenuhi kebutuhan masyarakat atau pendengarnya.
Salah satu penyebab radio tutup karena iklan yang berkurang lantaran saat ini tak lagi banyak pendengar. Data KPID Sulawesi Selatan, saat ini 61 radio yang memiliki izin tetap penyelenggara penyiaran. Kalaupun ada beberapa stasiun radio yang tutup, dijual, ataupun disewakan, penyebabnya karena mereka tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dan dikelola dengan seadanya, secara tidak profesional.
Pembagian iklan melalui agensi-agensi di Jakarta saat ini dikuasai radio berjaringan dan kebijakan sejumlah perusahaan besar yang tak lagi melirik radio sebagai media promosi mereka. Tak hanya perusahaan swasta, promosi program pemerintah pun, juga tak melirik radio.
Padahal jika merujuk pada program kampanye Keluarga Berencana (KB) di era Orde Baru. Radio sukses sebagai media kampanye dan memiliki peran besar, menunjang keberhasilan kampanye pemerintah tersebut.
Bisnis penyiaran radio saat ini mengalami penurunan. Namun, Masno tetap optimistis dengan masa depan medium yang mengandalkan indra pendengaran ini masih memiliki prospek cerah ke depan namun membutuhkah waktu yang lama. (****)
Sumber : Tribun Timur
Posting Komentar